Social Icons

Selasa, 01 November 2011

BELAJAR DARI PILKADA KAMPAR



Historis orde baru tidak memberikan kebebasan kepada rakyat, bahkan cenderung rakyat hanya dijadikan sebagai objek yang patuh dengan kekuasaan. Partisipasi rakyat merupakan salah satu prasyarat dalam perubahan tatanan sosial menuju negara demokrasi. Pasca tumbangnya orde baru, Indonesia dihadapkan dengan era reformasi yang penuh dengan keterbukaan. Reformasi lebih mampu memberikan konstitusi yang lebih demokratis. Kehidupan demokrasi pasca reformasi yang memberikan dinamisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semangat demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat merupakan wujud dari proses semangat negara untuk lebih baik dalam menjalankan pemerintahan karena ada proses saling kontrol-saling imbang (checks and balances).
Salah satu bagian dari semangat demokrasi adalah pemilihan kepala daerah secara langsung yang mana rakyat dapat memilih pemimpinnya, ini merupakan babak baru sejarah demokrasi bangsa ini. Sudah 66 tahun bangsa ini merdeka baru benar-benar kedaulatan itu diberikan secara langsung kepada rakyat, ditandai dengan pemilihan Presiden dan diikuti dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Pesta demokrasi rakyat atau biasa disebut dengan Pilkada pada gilirannya ada di Provinsi Riau. Di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Riau pemilihan kepala daerah telah terlaksana dengan baik, ada beberapa Pilkada yang bermasalah tetapi tidak menjadi konflik yang terlalu tajam ditengah-tengah masyarakat.    
          Beberapa waktu belakangan ini semua mata masyarakat Riau tertuju melihat dua Pilkada yang ada di Provinsi Riau yaitu Pilkada Kota Pekanbaru dan Pilkada Kabupaten Kampar. Pilkada ini menjadi sorotan bagi seluruh masyarakat Riau karena sangat menentukan dan mengambarkan peta politik Provinsi Riau kedepan, terkait dengan siapa partai yang mengembangkan sayap dan mencengkramkan kekuasan di Provinsi Riau. Pilkada Kota Pekanbaru dan Pilkada Kabupaten Kampar jarak dan rentang waktunya tidak terlalu jauh, hanya masyarakat Kota Pekanbaru lebih dahulu dalam proses pemilihan walikota dan selanjutnya baru diikuti oleh Pilkada Kabupaten Kampar. Ironisnya, masyarakat Kampar lebih dahulu mempunyai pemimpin dari pada Kota Pekanbaru yang sampai sekarang masih penuh dengan polemik, bahkan ekspektasi masyarakat Kota Pekanbaru untuk memiliki pemimpin untuk Kota Pekanbaru menuju kota yang lebih baik sampai sekarang tidak kunjung ada.
Media lokal maupun nasional baik cetak dan elektronik memberitakan tentang dua Pilkada ini dengan rangkaian cerita yang menarik bak sinetron yang tak habis-habisnya. Lembaran hari masyarakat terbumbui cerita Pilkada. Aktor yang bermain acap kali memberikan sambungan cerita yang menarik, monuver politik, polemik dan strategi memberikan dinamisasi dalam kehidupan masyarakat. Kenapa tidak, saling lempar opini dilakukan aktor di media untuk mengambil hati masyarakat, bahkan menjadi  headline news surat kabar yang ada di Provinsi Riau, tidak tahu kenapa yang jelas Pilkada Kota Pekanbaru dan Pilkada Kampar mempunyai cerita yang menarik untuk diikuti mulai dari sikap masyartakat, sikap negarawan dari calon yang bertarung siap kalah dan siap menang dan profesional penyelenggara Pilkada. Secara geografis Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar relatif sama, hanya saja Kota Pekanbaru sebagai ibu kota dari Provinsi Riau, akan tetapi Pilkada Kampar sukses kok Pilkada Kota Pekanbaru tidak sukses  tanya kenapa???
Pilkada Kota Pekanbaru diikuti oleh dua pasang calon yaitu Firdaus-Ayat Cahyadi dan Septina Primawati Rusli-Erizal Muluk. Proses Pemilukada Kota Pekanbaru putaran pertama sudah dilaksanakan pada tanggal 18 mei 2011 yang mengantarkan pasangan Firdaus-Ayat Cahyadi sebagai pemenang dengan jumlah suara 91.231 (59.78%) hasil ini tidak diterima oleh salah satu pasangan calon dengan melakukan gugatan ke MK. Babak baru Pemilukada Kota Pekanbaru dimulai dengan keluarnya keputusan MK jilid I yang mengatakan telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan secara terstruktur, masif dan sistematis. Oleh karena itu, MK menetapkan dilakukannya Pemungutan Suara Ulang pada tanggal 14 September 2011. Pasca keluarnya keputusan ini, masyarakat Kota Pekanbaru dipertontonkan dengan aksi yang dilakukan baik murni dari masyarakat maupun aksi yang memperjuangankan kepentingan salah satu calon. Harapan masyarakat untuk memiliki pemimpin di Kota Pekanbaru dengan menggunakan hak suara pada tanggal 14 September 2011 menjadi pupus karena PSU tidak bisa dilaksanakan pada jadwal yang telah ditetapkan dengan alasan anggaran Kota Pekanbaru tidak ada untuk melaksanakannya. Penundaan ini mengakibatkan munculnya kembali amar keputusan MK jilid II yang menetapkan memperpanjang pelaksanaan Pemilukada Kota Pekanbaru selama 90 hari bertepatan pada tanggal  21 Desember 2011. Tidak asing lagi ditelinga masyarakat salah satu calon merupakan istri dari Gubernur Riau yang maju di Pilkada Kota Pekanbaru berdampak terhadap kebijakan pemerintah dan KPU Kota Pekanbaru. Hal ini tampak jelas oleh masyarakat setelah berakhir masa jabatan Herman Abdullah sebagai Walikota Pekanbaru digantikan dengan Syamsurizal sebagai penjabat Walikota Pekanbaru. Semua orang tahu siapa Syamsurizal yang merupakan kader partai Golkar dan teman dekat dari Gubernur Riau. Kuatnya intervensi penguasa pada Pilkada Kota Pekanbaru sangat berpengaruh terhadap penyelenggara Pilkada. Keputusan MK jilid 2 ini tampak telah terjadi konspirasi Septina Primawati Rusli-Erizal Muluk, penjabat Walikota Pekanbaru Syamsurizal dan KPU Kota Pekanbaru. Keputusan MK memberikan bukti kuatnya intervensi penguasa di Pilkada Kota Pekanbaru. Besar ekspektasi masyarakat Kota Pekanbaru untuk pemimpin yang mampu menjadikan Kota Pekanbaru kota yang indah, bersih, aman dan bermartabat.
            Belajar dari Kabupaten tetangga, Pilkada Kampar yang mengantarkan Jefri Noer-Ibrahim Ali sebagai pemenang dengan jumlah 125.321 suara (45.85 persen) dengan menguasai 11 kecamatan, Burhanuddin Husin-Zulher meraih 110.792 suara (40.56 persen) menguasai 9 kecamatan, sedangkan Nasrun Effendi-Tengku M.Nizar meraih 37.095 suara (13 persen). Walaupun sebelumnya masing-masing calon saling klaim megenai jumlah perolehan suara, proses Pilkada Kampar berjalan dengan aman, tertib bahkan saksi dari calon mengesahkan surat rekapitulasi suara. Kedewasaan calon yang tergambarkan dengan sikap negarawan yang ditandai dengan sikap siap kalah dan siap menang. Calon nomor urut dua contohnya, Burhanuddin Husin-Zulher yang mengatakan “sebagai calon kami menghormati hasil Pemilukada Kabupaten Kampar 2011”. Hal senada dengan apa yang disampaikan oleh tengku M.Nizar pasangan nomor urut 1 menerima keputusan KPU Kabupaten Kampar. Kedewasaan elit berbading lurus dengan sikap masyarakat  Kampar yang dewasa dan elegan dalam Pilakada yang terlihat dari sikap masyarakat yang tidak terprofokasi dengan  isu,  proses ini  dapat  memberikan  contoh berdemokrasi yang baik. Pujian kepada Pilkada Kampar dari Wakil Gubernur Riau Mambang Mit yang mengatakan Pilkada Kampar berjalan dengan sukses, lancar dan kondusif sembari memberikan apresiasi kepada masyarakat Kampar yang dewasa dalam melakukan pemilihan kepala daerah, yang dikutip di media Tribun Pekanbaru.
            Dari dua Pilkada, realitas politik tidak terlalu berbeda. Melirik misalnya pelaku politik yang bermain, siapa partai yang bertarung di dua Pilkada ini. Secara geografis dan budaya relatif sama antara Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar. Persoalan yang terjadi adalah pada Pilkada Kota Pekanbaru diwarnai dengan polemik, konflik dan dinamika politik yang tidak sehat sehingga mendatangkan kejenuhan bagi masyarakat. Pilkada Kota Pekanbaru adalah pertarungan REZIM untuk memertahankan kekuasaan.
 Lunturnya jiwa negarawan yang terlihat dari sikap siap kalah dan menang dari setiap calon dan elit, kedewasaan masyarakat yang tidak terprovokasi dengan isi-isu yang tidak bertanggung jawab, dan independensi peyelenggara Pilkada dalam hal ini KPU, merupakan hal mutlak yang harus dimiliki demi kepentingan masyarakat Kota Pekanbaru. Kedewasaan elit dan masyarakat dalam berpolitik menentukan berjalan lancarnya Pilkada seperti apa yang dikatakan oleh Aldian pengamat politik Universitas Riau di koran Tribun yang mengatakan sukesnya Pilkada Kampar tidak terlepas dari kedewasaan elit dalam berpolitik dan masyarakat, karena elit mempunyai kekuatan untuk menggerakan massa. Tidak ada salahnya belajar dari Pilkada Kabupaten Kampar yang memberikan pelajaran politik bagi kita semua bagaimana berpolitik yang egaliter dengan jiwa negarawan “siap kalah dan siap menang”. Hidup rakyat!!!

                                                                                                Oleh: Nofri  Andri Yulan
                                                                                            Presiden Mahasiswa UNRI
 

Kamis, 13 Oktober 2011

POLITISASI PSU



Proses Pemilukada Kota Pekanbaru putaran pertama mengantarkan pasangan Firdaus dan Ayat Cahyadi sebagai pemenang dengan jumlah suara 91.231/59.78% memenangkan suara di 12 Kecamatan yang ada di Kota Pekanbaru sedangakan pasangan Septina Primawati Rusli dan Erizal Muluk dengan jumlah suara 61358/40.21%.  Hasil ini tidak diterima oleh tim sukses  salah  satu pasangan calon Walikota Pekanbaru karena terdapat banyak pelanggaran dalam prosesnya, dan melakukan penggugatan ke Mahkamah Konstitusi hingga diputuskannya Amar keputusan MK jilit  1 untuk melaksanaan pemungutan suara ulang/PSU 14 september 2011. Amar keputusan MK jilit 1 yang mengharuskan melakukan pemungutan suara ulang/ PSU di respons oleh KPU kota Pekanbaru Yusri Munas dengan melakukan penyusunan tahapan pemungutan suara ulang/PSU mulai dari tahapan persiapan, peleksanaan dan penyelesaian demi menghormati keputusan MK. Perencanaan yang telah di rencanakan oleh KPU Kota Pekanbaru menjadi sia-sia ketika Yusri Munaf sebagai ketua KPU Kota Pekanbaru di copot menjadi Ketua KPU Kota Pekanbaru. Proses pencopotan ini menimbulkan polemik baru di dalam KPUD itu sendiri, terkait dengan komitmen untuk melaksanakan PSU tepat pada waktunya sesuai dengan amar keputusan MK. Dipilihnya  Makmur Hendrik sebagai ketua KPU baru terpilihnya secara aklamasi lewat rapat pleno KPU Kota Pekanbaru. Ketua KPU terpilih  tidak melihatkan  keseriusan untuk menyelesaikan Pemunguan Suara Ulang/PSU pradoks dengan sikap yang dilakukan oleh Makmur Hendrik yang melakukana roadshoaw ke media-media menyampaikan bahwa agenda PSU tidak dapat dilaksanakan pada tanggal 14 September 2011, Sesuai dengan hasil pleno sebelumnya pada masa ketua KPU Yusri Munaf yang meilhatkan optismisme melakukan PSU,  padahal masyarakat Kota Pekanbaru ingin segera menunaikan haknya sebagi rakyat yang taat konstitusi, ketika dalam waktu 90 hari KPU Kota Pekanbaru gagal melaksanakan Pemungutan Suara Ulang, itu berarti KPUD telah melenggar konstitusi dan mengabaikan hak rakyat Pekanbaru. Berdasarkan undang-undang No 2/2007 tentang penyelenggara pemilihan umum termasuk pemilukada, KPUD wajib melaksanakan Pemilukada sesuai dengan ketentuan yang ada. Tidak hanya itu KPUD Kota Pekanbaru secara resmi mengumumkan secara resmi di media massa pendaftaran petugas PPK dan PPS, padahal dalam undang-undang No 22 tahun 2007 pasal 42 ayat 2 dan pasal 45 ayat 4 jelas mengatakan bahwa dalam hal terjadi perhitungan suara ulang, maka pemilu susulan dan pemilu lanjutan akan dilaksanakan oleh petugas PPK dan PPS dengan masa kerja diperpanjang dan PPK dan PPS akan di bubarkan paling lambat 2 bulan setelelah pemungutan suara. Masyarakat melihat ada upaya untuk merubah DPT padahal amar keputusan MK tidak ada perintah untuk memperbaiki DPT karena pertentangan dengan PP No 6/2005 pasal 35 tentang Pilkada, DPT yang telah disyahkan PPS tidak dapat diubah kecuali ada yang meninggal. Milirik sikap KPUD sangat mengambarkan ketidak seriusan untuk melaksanakan pemungutan suara ulang tepat pada waktunya bahkan cendrung untuk mengulur-ulur waktu dari fakta di atas jelas KPUD mengabaikan hak rakyat Kota Pekanbaru untuk melakukan pemungutan suaran ulang tepat pada waktunya sesuai dengan amar keputusan MK.
Berakhirnya masa jabatan Walikota Pekanbaru Herman Abdullah pada tanggal  17 juli 2011 menjadi babak baru politik Kota Pekanbaru. Di tunjuknya Syamsurizal sebagai Penjabat Walikota Pekanbaru menjadi harapan baru bagi masyarakat kota Pekanbaru untuk menyelesaikan pemungutan suara ulang. Tapi sangat ironis sikap dan komitmen penjabat Walikota Pekanbaru yang tidak taat dengan amar keputusan MK yang memutuskan pemungutan suara ulang dilaksanakan 14 September 2011. Syamsurizal ditunjuk sebagai penjabat Walikota Pekanbaru sesuai dengan SK MENDAGRI tertanggal 15 Juli 2011 dengan Nomor 131.14-549, Alasan Penjabat walikota Pekanbaru kenapa PSU tidak dapat dilaksanakan 14 September 2011 dengan alasan angaran Pemerintah Kota tidak ada, padahal Riau merupakan Provinsi tergaya No 2 di Indonesia berdasarkan peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2009 tentang perubahan atas peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 44 tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan belanja pemilihan umum kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah pasal 8B ayat 2 dalam hal pemerintah Kabupaten/Kota mengalami keterbatasan kemampuan keuangan daerah untuk penyelenggraan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dan/Walikota dan Wakil Walikota, pemerintah Provinsi dapat membantu pendanaan pemilu Bupati dan Wakil Bupati dan/ Wakil Walikota dan Wakil Walikota. Komitmen Penjabat Walikota pekanbaru untuk melaksanakan PSU tepat pada waktunya  semakin inkonsistensi dangan Sikap yang tergambarkan dari beberpa kebijakan Penjabat Walikota Pekanbaru  yang kontroversial seperti Pemerintah Kota Pekanbaru melalui Penjabat Walikota Syamsurizal  melakukan mutasi  134 pejabat eselon III dan eselon IV bahkan ada beberapa pejabat yang akan di demosi (penurunan eselon) Pemerintah Kota Pekanbaru, Hermanius sebagai anggota badan pertimbangan jabatan dan pangkat dan juga ketua BKD Kota Pekanbaru tidak mengetahui proses mutasi yang dilakukan pemerintah Kota Pekanbaru. Kalau melihat aturan jelas mutasi tidak dapat dilakukan oleh penjabat Walikota Pekanbaru. Berdasarkan PP No.49/2008 perubahan ke tiga atas PP No 6/2005 pasal 132 A mengatakan bahwa pj Kepala Daerah atau plt Kepala Daerah tidak boleh melakukan mutasi, membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan atau mengeluarkan izin yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya, membuat kebijakan pemekaran daerah, membuat kebijakan yang bertentangan dengan program kebijakan pejabat sebelumnya. Seharusnya pemerintah dalam melakukan mutasi harus lebih mempertimbangkan kepada evaluasi kinerja -seperti yang dikatakan oleh Andi Yusran (Akadimisi Riau). Harapan masyarakat Kota Pekanbru memiliki pemimpin untuk perubahan Kota Pekanbaru kearah yang lebih baik semakin jahu panggang dari api dengan sikap KPUD dan Penjabat Walikota Pekanbaru yang cendrung mengulur-ulur waktu. Amar keputusan MK jilit II telah ditetapkan dengan memperpanjang  pelaksanaan pemungutan suara ulang pemilikada Kota Pekanbaru selama 90 hari bertepat pada tanggal  21 Desember 2011. Keputusan ini menurut pandangan Yusril Ihza Mahendra putusan MK menggambarkan inkonsistensi antara pertimbangan putusan diktum putusannya, sehingga kontradiktif terlihat aneh. Dalam pertimbangan putusan jelas menyembutkan ada konspirasi politik melibatkan yang pemohonan, yakni pasangan Septina-Erizal Muluk dengan Kpu Pekanbaru dan Penjabat Wakikota Pekanbaru untuk menggagalkan pelaksanaan PSU. Padahal dalam sidang  Mahfud MD sebagi Ketua Hakim panel ada konspirasi untuk mengundur PSU maka akan memenangkan calon Firdaus Dan Ayat, akan tetapi MK memutuskan pemunggutan ulang kembali. Masyarakat Pekanbaru mendapatkan hak kembali untuk melakukan pemungutan suara ulang dengan harapan mendapatkan pemimpin baru.  Langkah yang bijak dilakukan oleh Diputi 1 Koordinasi Poldagri bidang Pemilukada untuk melakukan pemantauan terhadap prsose PSU Pemilukada Pekanbaru. proses pemungutan suara ulang jangan dipolitisasi dengan mengeluarkan kebijakan yang kontroversial bagi masyarakat. Mentaati aturan dan memberikan hak kepada rakyat dalam memilih pemimpin  yang ada harus menjadi pradigma KPUD dan Penjabat Walikota Pekanbaru dalam bekerja agar pekanbaru menjadi kota yang aman, tertib,  sejahtera dan menjadi kota yang bermartabat.

                                                                 Oleh: Nofri Andri Yulan (Presiden Mahasiswa Unri)

 

Kamis, 25 Agustus 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU UNTUK SIAPA?



Provinsi Riau merupakan provinsi terkaya nomor 2 di  Indonesia. Sebagai provinsi yang melimpah sumber daya alam seharusnya berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Riau. Sudah menjadi rahasia umum negeri lancang kuning terkenal dengan negeri “di atas minyak, di bawah minyak”, di atas bumi Riau ditumbuhi oleh kelapa sawit sedangkan di bawah dibanjiri oleh minyak bumi. Riau memang provinsi yang dianugrahkan Allah SWT sebagai provinsi kaya dengan sumber daya alam yang melimpah. Apakah kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Provinsi Riau memberikan gambaran terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Riau?. Menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan membuat program ungulan yang dapat mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial.
Pemerintah daerah yang memiliki peranan sebagai penyelenggara di daerah, menurut Rasjit ada 3 fungsi pemerintah yaitu, pertama fungsi pengaturan, yang dimaksud dengan fungsi pengaturan atau disebut juga fungsi regulasi bermaksud sebagai usaha untuk menciptakan kondisi yang tepat sehingga tercipta kondisi yang kondusif atas keberlangsungan berbagai aktifitas dan terciptanya tatanan sosial yang baik bagi kehidupan masyarakat. Kedua, fungsi pelayanan yaitu memberikan keadilan dalam kehidupan masyarakat. Ketiga, fungsi pemberdayaan yaitu mengarahkan masyarakat menuju kemandirian dan pembangunan menciptakan kesejahtreraan bagi masyarakat.
 Melirik Riau pada saat ini, apakah pemerintah telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Riau?. Pertumbuhan ekonomi Riau sebessar 7,51 persen yang katanya melebihi rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang berkisar 6-7 persen, akan tetapi sangat ironis ketika kita melihat terjadi peningkatan kemiskinan di pedesaan yang ada di Provinsi Riau. Data BPS mengatakan, selama periode Maret  2010 - Maret 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 67.000 jiwa, sedangkan di daerah perdesaan mengalami kenaikan sebesar  48.800 jiwa. Ini menjelaskan terjadi ketimpangan perekonomian antara perkotaan dan pedesaan, padahal pertumbuhan ekonomi bukan hanya milik perkotaan, akan tetapi pertumbuhan ekonomi yang sesungguhnya adalah pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau secara komperhensip dan integral untuk masyarakat  Riau. Sangat paradoks jika melihat pertumbuhan ekonomi Riau yang melebihi pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional, tapi yang terjadi di Provinsi Riau adalah pertumbuhan ekonomi dalam bentuk angka-angka yang normatif sama sekali tidak melihatkan pertumbuhan ekonomi yang sesungguhnya. Yang menjadi pertanyaan peningkatan ekonomi Riau untuk siapa???. Ketika pertumbuhan ekonomi Riau mengalami peningkatan seharusnya rakyat tidak ada yang miskin, melihat Struktur APBD Riau tahun anggaran 2011 mencapai Rp 4,499 triliun lebih dengan defisit Rp 223 miliar lebih. Dengan komposisi untuk belanja tidak langsung sebesar Rp 1.833 triliun lebih serta belanja langsung sebesar Rp 2.66 triliun lebih. Total APBD seluruh kabupaten di Provinsi Riau mencapai Rp 20 triliun. Seharusnya rakyat Riau tidak ada yang miskin dengan jumlah penduduk miskin di Riau Maret 2011 sebesar 482.050 jiwa (8,47 persen). Yang menjadi pertanyaan kemana pengalokasian APBD Riau yang katanya berpihak kepada rakyat???.
 Ada yang keliru dalam kebijakan ekonomi Riau yang memprioritaskan infrastruktur dalam hal ini pembangunan gedung megah. Dalam konsep pembangunan infrastuktrur dalam kaidah ekonomi haruslah memprioritaskan pembangunan insfrasruktur yang langsung bersentuhan dengan kesejahteraan masyarakat seperti pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, bukan membangun gedung-gedung megah yang notabenenya tidak substansial meningkatkan kesejahteraan rakyat. Melihat kebijakan ekonomi Riau yang langsung bersentuhan dengan rakyat dengan program K2I (Kemiskinan, Kebodohan, Infrastruktur) Operasi Pangan Riau Makmur yang merupakan program prioritas Provinsi Riau ini malah mengalami kegagalan. Yang menjadi pertanyaan kenapa program yang bersifat bersentuhan dengan keinginan rakyat selalu gagal sedangkan program infrastruktur seperti gedung sarana dan pra sarana PON lebih melihatkan eksistensi dalam pelaksanaannya,  tanya kenapa ???.
   Peningkatan ekonomi 7,51 persen di Riau seharusnya mampu mengurangi kemiskinan, penganguran dan ketimpangan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Indikator keberhasilan peningkatan ekonomi di suatu provinsi adalah ketika peningkatan ekonomi yang terjadi mampu mengurangi angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial. Akan tetapi, ironisnya kemiskinan  semakin meningkat, pengangguran semakin merajalela, dan ketimpangan sosial di tengah masyarakat semakin tinggi, orang kaya semakin kaya, orang miskin semakin melarat dengan kemiskinannya. Yang menjadi pertanyaan pertumbuhan ekonomi Riau milik siapa???.
Kedepan kebijakan ekonomi Provinsi Riau harus berpihak kepada rakyat. Program kebijakan ekonomi kerakyatan harus diutamakan agar mampu menguranggi kemiskinan, sehingga dapat mengurangi ketimpangan sosial di tengah-tengah masyarakat. Dengan ketersediaan Sumber Daya Alam yang melimpah kenapa pemerintah provinsi tidak menghidupkan indusri hilir, seperti pabrik minyak, mentega yang kongrit untuk menumbuhkan ekonomi baru di Provinsi Riau. Ketika industri hilir dihidupkan, hal ini bisa menjawab pengurangan pengguran di Provinsi Riau. Riau kedepan harus berdaulat atas kekayaan alam yang dimiliki. Baca, pelajari, analisis dan lawan.

Oleh : Nofri Andri Yulan
  Presiden Mahasiswa UNRI /KP PD KAMMI Riau