Kenaikan bahan bakar minyak (BBM)
pada rezim SBY-BOEDIONO merupakan bentuk dari pemimpin yang tidak mencintai
rakyatnya. BBM sudah menjadi kebutuhan mendasar
bagi rakyat Indonesia. Subsidi bahan bakar minyak (BBM) merupakan keharusan
yang harus dilakakukan pemerintah terhadap rakyatnya, sama halnya dengan
pemerintah melakukan subsidi kepada sektor pendidikan dan kesehatan. Sebagai negara
kaya dengan sumber energi, maka rakyat harus mendapatkan hak-haknya dari
keakayaan sumberdaya alam seperti energi. Hal ini telah tertuang dalam dasar
negara Republik Indonesia yakni UUD pasal 33 Tahun 1945 yang menyatakan bahwa bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Kenaikan bahan
bakar minyak (BBM), tentu akan memberikan dampak yang sistemik kekehidupan
masyarakat. Mulai dari kenaikan bahan akibat dari biaya transportasi meningkat.
Kebutuhan sandang, pangan dan papan menjadi naik sehinga akan menambah
kesangsaraan rakyat. Kenaikan BBM dikuatirkan akan menambah tingkat kimiskinana
di indonesia. Dampak yang terjadi adalah tingginya angka kriminalitas.
Alasan pemerintah dengan menaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) adalah pertama, subsidi bahan bakar minyak (BBM)
tidak tepat sasaran. Kedua, pembengkakan APBN dengan subsidi mengurus APBN. Jika dilakukan kenaikan akan menghemat
anggaran 21 triliun dan tinggi konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Alasan
pemerintah ini tidak dapat dicerna oleh logika sehat rakyat ketika alasan yang
disampaikan kepada rakyat tidak sesuai dengan kondisi APBN sesungguhnya. Beban APBN bukan terletak pada subsidi BBM. Pada tahun
2013 ini pembayaran cicilan bunga hutang dan cicilan pokok utang Rp 171
Triliun.
Ketika pemerintah mengatakan subsidi
BBM menguras APBN dan dengan menaikan BBM mampu menghemat sampai 21 triliun.
Pemerintah seharusnya cerdas dalam melihat persoalan. Semestinya banyak cara
yang harus dilakukan pemerintah untuk mengurangi defisit APBN. Jangan kemudian
setiap terjadi pembengkakan subsidi membuat defisit APBN terus rakyat menjadi
korban. Pemerintah jangan beraninya sama rakyat. Keberanian pemerintah
seharusnya ditunjuakkan kepada mafia migas dan koruptor APBN karena mereka yang
membuat defisit APBN.
Dirjen Pajak menyatakan pada tahun 2012 Ratio kebutuhan wajib
pajak/WP pribadi sebesar 44 persen yakni 8,8 juta orang dari 20 juta wajib
pajak/WP yang terdaftar. Sementara ratio kebutuhan wajib pajak/WP badan usaha
sebesar 27,36 persen yakni 520 ribu dari 1,9 juta badan usaha yang terdaftar
sebagai wajib pajak/WP. Pada tahun 2012 pada sektor pajak adalah Rp 976 triliun
atau 68,8 persen dari APBN 2012 sebesar Rp 1418,5 Triliun. Seharusnya pemerintah
melakukan peningkatan ratio kepatuhan wajib pajak/WP. Jika ini dilakukan ratio
wajib pajak sampai 100 % maka APBN akan surplus karena pendapatan negara akan
meningkat. Ini bisa membuktikan bahwa menutupi defisit APBN akibat subsidi BBM.
Rizal Ramli ekonom senior menyatakan
bahwa telah terjadi korupsi ABPN sampai 50 persen mulai dari perencanaan,
pembahasan sampai realisasi (dikutip dari serasehan anak negeri). Jika pemerintah
berani untuk melakukan pemberantasan korupsi dan melakukan penyitaan kepada
koruptor akan mampu meningkatakan APBN. Artinya adalah banyak cara yang harus
dilakukan pemerintah ketika APBN defisit akibat subsidi BBM. Pernyataan
pemerintah dengan alasan-alasan yang disampaikan terkait dengan kenaikan BBM Rp
6500/liter tidak beralasan.
Pertanyaan adalah kenaikan BBM kepentingan
siapa?. Pada tahun 1997 bermula dari penandatanganan letter of intern dan IMF yang dilakukan oleh pemerintah indonesia
pada masa kepemimpinan Soeharto. Reformasi kemudian melahirkan reformasi pada
sektor energi. Banyak kesepakatan dengan
IMF yang dilakukan pemerintah Indonesia salah satunya adalah melakukan liberalisasi.
Migas merupakan sektor yang diliberalisasikan.
Kuatnya pengaruh asing dalam kebijakan energi indonesia terbukti dengan
munculnya UU No 22 tahun 2001. Kemunculan UU no 22 tahun 2001 adalah ketika UU ini
kemudian semakin menguatkan cengkraman asing menguasai migas Indonesia.
Dapat kita
lihat dari kronologis
disahkannya UU no 22 Tahun 2001. Dimulai dari United States Agency For
Internasional Development (USAID) yang melakukan perubahan regulasi pada sektor
migas di Indonesia. Dua dokumen yang berjudul enegry sektor governance strenghened dan energi sektor reform. Pada energi sektor governance strenghened mulai dijalankan pada tahun
fiskal 2000 dan selesai pada tahun fiskal 2004 disebutkan beberapa poin terkait
dengan liberalisasi sektor energi dan migas di Indonesia. Kutipannya berbunyi
sebagai berikut, Paragraf kedua, kalimat kedua dan
keampat dukumen tersebut berbunyi. “mengurangi peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, dan
mempromosaikan keterlibatan sektor swasta”.
Paragraf keempat USAID menyatakan keterlibatannya
dan memberikan bantuan dan merombak regulasi energi indonesia bunyi kutipannya
sebagai berikut, “USAID memberikan dana US$ 4 juta
dalam bantuan langsung fiskal 2001 guna menguatkan pengaturan sektor energi
untuk menciptakan sektor energi yang lebih efesien dan transpran”.
Paragraf ketujuh dalam dokumen ini USAID secara
langsung terlibat didalam memformulasikan kebijakan RUU migas yang baru, seperti dikutip berikut ini,
“USAID membantu
merancang legislasi katebijakan minyak dan gas yang baru diserahkan kepada DPR pada
bulan Oktober 2000.” legislasi akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran perusahaan minyak
negara dalam ekspolarasi dan produksi. Supaya tidak terjadi perdebatan terkai
liberalisasi sektor energi. USAID melakukan pendekatan kepada dengan lembaga
swadaya masyarakat dan perguruan tinggi seperti yang dikutip pada pragref
sembilan. Pada tahu fiskal 2001, USAID merancang untuk menyediakan US$ 850 ribu
untuk mendukung LSM-LSM dan Universitas dalam pengembangan program-program
untuk peningkatan penyadaran dan mendukung keterlibatan pemerintah lokal dan
publik atas isu-isu energi, termasuk pencabutan atas subsidi energi.
Untuk
menjalankan reformasi kebijakan energi, maka USAID meminta bantuan kepada
lembaga keuangan Internasional dan Regional seperti Bank Dunia dan ADB. Dalam paragraf ketiga belas terungkap seperti
dikutip, “Program-program donor lainnya USAID bekerja dengan ADB dan Bank Dunia
dalam refomasi energi.”
Berdasarkan
pemaparan di atas sangat jelas bahwa asing khususnya Amerika mempunyai peran
besar dalam melakukan liberalisasi migas dan mencabut subsidi BBM pada rakyat. Sampai dengan harga migas harus mengikuti
harga pasar. UU no 22 tahun 2001 merupakan UU liberal mulai dari sektor hulu
sampai hilir migas kita dikuasai asing. 80 persen asing menguasai migas
nusantara ini. Asing khususnya Amerika punya kepentingan untuk menguasai energi
untuk menggerakan industrinya. Apalagi energi memiliki nilai ekonomi yang
tinggi dan strategis. Dengan kenaikan BBM tentu BUMN seperti Pertamina akan
bersaing harga dengan SPBU asing seperti Total, Shell, Petronas dll.
Maka kebijakan
pemerintah menaikan harga BBM memberikan
bantuan tunai (BLT) sama dengan mencabut subsdi BBM untuk rakyat sangat kental
intervensi asing sesuai dengan
permintaan asing melalui USAID dan menindas rakyat dan hilangnya kedaulatan
negara atas energi.
Oleh
: Nofri Andri Yulan
Presiden
Mahasiswa UNRI 2011-2012/KP KAMMI Riau