Social Icons

Kamis, 31 Januari 2013

KEKUASAAN (Renungan untuk Calon Gubernur Riau)

Pada tahun 2013 ini ada agenda perebutan kekuasaan. Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkannya. Siapa yang tidak tertarik dengan kekuasaan, bahkan ada istilah yang mengatakan bahwa wanita, tahta/kekuasaan dan harta merupakan perhiasan dunia yang paling spektakuler. Sebagai manusia yang memiliki naluri, nafsu, keinginan, rasa dihormati dan dihargai, maka kemudian kekuasaan dijadikan wadah untuk mendapatkan legitimasi publik. Banyak hal bisa dilakukan ketika kekuasaan bisa dimanfaatkan dengan baik.
 Dalam buku mukaddimah, karangan Ibnu Khuldun mengatakkan bahwa kekuasaan merupakan kedudukan yang sangat menyenangkan. Kesenangan itu meliputi materi dan maknawai. Dari segi materi bagaimana kekuasaan sangat dekat dengan sumber-sumber keuangan. Sedangkan maknawainya kekuasaan merupakan wadah terhormat yang sangat prestisius. Dengan kekuasan membuat orang menjadi terpandang, terkenal dan mendapatkan fasilitas lebih dari manusia yang tidak memiliki kekuasaan.
Banyak hal yang bisa dilakukan ketika berada pada kekuasaan. Pemberantasan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial bisa dilakukan dengan kekuasaan. Tentang manfaat kekuasaan ini Ibnu Khuldun juga menyampaikan pandangan. Menurutnya  kekuasaan memiliki tujuan substansial yang seharusnya diformulasikan untuk kemanusiaan karena kekuasaan secara naluri terkait dengan fitrah manusia yang pola fikirnya cenderung kapada maslahat. Sehingga kekuasaan dalam pendangan Ibnu Khuldun dapat memberikan keamanan, perlindungan dan kesejahteraan.
 Imam As-Sayuthi mengatakan, untuk dapat memenuhi kewajibannya terhadap rakyat, maka kekuasaan harus didedikasikan untuk kebaikan (maslahah) bagi rakyat (tasharruf al-imam ala ar-raiyah manutun bi al-mashlahah). Dari gambaran di atas menjelaskan bahwa kekuasan merupakan implementasi dari undang-undang Allah SWT untuk segenap manusia dan kemaslahatannya. Pada arti yang sesungguhnya kekuasaan itu sangat mulia untuk memberikan kontribusi bagi perbaikan hidup rakyat bangsa dan negara.
Kekuasaan memang memiliki banyak wewenang untuk berbuat baik atau buruk dengan legitimasi yang dimiliki. Menurut Miriam Budiardjo Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Realitas kekuasaan disalah artikan dari tujuan kekuasaan itu sendiri. Wewenang yang ada pada pemilik kekuasaan dalam prakteknya disalah artikan. Salalu saja wewenang yang didapatkan dikerjakan melebihi dari yang telah ditetapkan.
Saya melihat ada pandangan yang keliru tentang kekuasaan. Sehingga kemudian kekuasaan menjadi citra yang negatif. Kekuasaan tidak mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan kepada rakyat. Bahkan dengan kekuasaan rakyat menjadi lebih tertintas. Seakan-akan kekuasaan tidak hadir ditengah persoalaan rakyat. Yang lebih berbahaya lagi kekuasaan tidak dalam prespektif amar ma’ruf nahi munkar.
 Baik buruknya kekuasan tergantung dari siapa yang menduduki kekuasaan tersebut. Sudah menjadi kebiasaan kekuasaan digunakan untuk kepentingan pribadi seperti kongkalingkong proyek, dana APBD dikuras untuk kepentingan pribadi, permainkan regulasi dan kepentingan kelompok seperti kekuasaan untuk kepentingan keluarga, tim sukses dan partai. Yang lebih memprihatinkan ketika kekuasaan dijadikan sarana untuk ingin menjadi penguasa yang otoriter. Atau kekuasaan dijadikan untuk melindungi bisnis dan status sosial/status hukum.
Kondisi sudah sangat memprihatinkan bagaimana permain busuk antara penguasa dan pemilik modal, maka kekuasaan pada kenyataannya sebagai perpanjangan tangan pemilik modal. Sehingga ada kecenderungan bahwa kekuasaan hanya dijadikan sebagai sumber-sumber keuangan untuk penguasa dan pengusaha.
Ketika pandangan kekuasaan dipelintir oleh manusia yang pragmatis dengan kekuasaan, maka akan berpengaruh kepada bagaimana cara mendapatkannya. Saya melihat realitas yang terjadi menghalalkan berbagai cara dilakukan untuk mendapatan kekuasaan.  Melakukan politik uang, lebih mengedepankan pencitraan dari pada kerja nyata, menggunakan jabatan untuk mendapatkan kekuasaan, tidak memberikan pendidikan politik kepada rakyat dan sudah hilangnya politik nilai pada manusia yang ingin berkuasa. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan tehadap perkembangan demokrasi di negeri ini.
Kekuasaan harus dimaknai sebagai wadah kontribusi untuk memberikan perbaikan terhadap kehidupan rakyat yang lebih baik. Mengwujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat. Prinsip kekuasaan untuk memberikan kemaslahatan bagi rakyat, Maka mulai dari momentun terdekat perebutan kekuasaan yaitu pemilihan Gubernur Riau 2013 kepada stekholder untuk merebut kekuasaan dengan cara yang baik, tentunya mengedepakan nilai dalam merebut kekuasaan demi menjaga kehormatan kekuasaan itu sendiri. semoga
OLEH: Nofri Andri Yulan
Presiden Mahasiswa UNRI 2011-2012/ KP PD KAMMI RIAU

Minggu, 27 Januari 2013

Reformasi Partai Politik



Reformasi merupakan titik awal dari perbaikan sistem demokrasi di Indonesia. Pada masa orde baru, pemerintah dan presiden sangat dominan bahkan jabatan presiden dianggap sebagai jabatan sakral. Kondisi ini sudah berubah, sekarang tentu sudah lebih demokratis. Partai politik pasca reformasi tentu harus lebih bisa berbuat banyak untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat karena kader-kader partai memiliki jabatan penting pada lembaga eksekutif seperti bupati/walikota/gubernur dan presiden bahkan lembaga legislatif (DPR). Kondisi ini sangat memungkinkan partai politik dapat memberikan kontribusi untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Tapi paradoks kenyataannya adalah kondisi rakyat pada saat ini masih seperti ini saja, yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin melarat dengan kemiskinan.
Partai politik belum mampu memperjuangkan aspirasi rakyat. Partai politik hanya dijadikan kendaraan politik untuk kader partai merebut kekuasan di legislatif (DPRD) dan eksekutif  (pemerintahan). Menurut Jimly Asshiddiqie, partai politik dapat diartikan sebagai suatu bentuk kelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis yang bertindak sebagai perantara dalam proses-proses pengambilan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan, sehingga berperan dalam proses dinamis perjuangan nilai dan kepentingan (value and interest) dari konstituen yang diwakilinya. Dengan kata lain, partai politik adalah media aspirasi bagi masyarakat luas untuk ikut dalam proses penentuan kebijakan dalam kehidupan bernegara.
Menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan partai politik sekarang ini? Apakah masih memperjuangkan kepentingan rakyat? Apa yang salah pada partai politik?. Saya melihat ada beberapa permasalahan mendasar yang terjadi pada partai politik yang membutukan perbaikan secara cepat. Permasalahan pertama adalah partai tidak memiliki ideologi dan platform yang  jelas. Ketika partai tidak memiliki ideologi dan platform yang jelas, maka akan berpengaruh kepada kinerja parpol. Kader-kader partai di lembaga eksekutif dan legislatif menjadi kebingungan meduduki jebatan starategis tersebut. Sehingga wajar wajah eksekutif dan legislatif tidak punya cita-cita perubahan yang kongkrit.  Pentingnya partai politk punya ideologi dan platform, agar kadernya mempunyai nilai-nilai perjuangan, cita-cita, dan konsep perubahan. Sebaliknya, apabila partai tidak memiliki ideologi dan platform yang jelas yang terjadi adalah kader-kader partai tidak memiliki konsep perubahan sesuai dengan ideologi partai yang akan diperjuangkan di parlemen dan pemerintahan. Publik dapat melihat tidak adanya narasi-narasi perubahan dari kader partai. Perdebatan di parlemen tidak dalam tataran konsep, tapi lebih kepada hal-hal yang normatif.
Kedua, partai masih belum profesional dalam melakukan rekrutmen. Popularitas dan dana menjadi indikator penting bagi partai politik dalam melakukan rekrutmen kader.  Sehingga yang terekrut adalah teman dekat, keluarga, artis, preman, dan mafia (mafia seperti mafia intelektual, aktivis, hukum, anggaran, proyek, bisnis) yang notabenenya adalah individual yang pragmatis, materialistik, dan hedonis. Maka tidak jarang terjadi korupsi, jarang datang rapat, suka ngurusin proyek dari pada rakyat, penyalahgunaan wewenang, minim pemahaman regulasi, mafia regulasi, perpanjangan tangan pemilik modal, bahkan perbuatan merusak moralpun dilakukan seperti narkoba, dan seks bebas. Lebih parah lagi ketika kader partai politik tidak tahu apa yang akan dikerjakan di parlemen.
Ketiga, transparansi anggaran. Partai politik harus berani transparan mengenai anggaran kepada publik. Dari mana sumber dana dan untuk apa digunakan. Bagaimana pejabat publik yang dimajukan manjadi kepala daerah bisa transparan, kalau di intenal partai sendiri masih belum melakukan transparansi anggaran. Transparasi anggaran ini penting dilakukan karena kebanyakan kader-kader partai ketika menjadi pejabat dikuras oleh partai untuk mencari dana untuk partai.
Keempat, partai masih bersifat oligarki. Partai masih belum demokratis dalam pangambilan kebijakan. Terkesan kebijakan terpatron kepada pimpinan partai seakan-akan pimpinan partailah yang memiliki partai ketika sudah menjadi pemimpin. Sehingga yang terjadi adalah ketika kran demokrasi tidak terbuka, tentu partai akan otoriter.
Kelima, partai masih lemah dalam kaderisasi dan proyeksi kader. Kondisi parpol sudah sangat memprihatinkan dalam melakukan proyeksi kader untuk dijadikan bupati/walikota, gubernur, bahkan presiden. Ini terjadi karena partai politik tidak memiliki kaderisasi dan proyeksi kader yang jelas. Sehingga yang terjadi adalah kader kutu loncat atau kader yang terbentuk secara instan. Maka sudah sangat wajar kalau kemudian paradigma, prinsip, cita-cita dan internallisasi nilai kepartaian tidak menghujah ke jiwa kader. Dapat dilihat dari banyaknya kader-kader partai politik tidak memiliki karakter, gonta-ganti partai dan tidak militan kepada partai.
Keenam, reward and punishment. Partai politik harus profesional dalan menjalankan kerja kepartaian. Ketika ada kader yang berprestasi, maka partai harus memberikan reward. Wujud dari partai peduli dengan kader yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Dan memberikan sanksi kepada kader yang berkinerja buruk.
 Jadi dapat dimaklumi kenapa kinerja wakil rakyat dan pemerintahan masih biasa-biasa saja bahkan semakin buruk. Karena hal ini sejalan dengan sistem dan makanisme internal partai politik yang masih bermasalah. Maka wajar jika kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan partai politik ke depan. Setidaknya partai politik harus kembali mempertegas ideologi dan platfrom partai politiknya. Melakukan perbaikan rekrutmen kader dengan profesional. Dengat cara melakukan fit and proper test. Masuk menjadi kader partai harus mengedepankan integritas dan kapasitas selain juga kader harus mempunyai popularitas, elektabilitas dan aksebilitas. Sudah manjadi keharusan partai politik harus transparan dengan anggaran. Dari mana anggaran didapatkan dan untuk apa anggaran dikeluarkan. Transparanasi anggaran disampaikan ke publik melalui media. Partai politik bisa libatkan KPK, BPK untuk mengaudit anggaran partai. Kader partai harus berani melaporkan harta kekayaan kepada institusi yang berhak. Kalau partai tertutup dengan anggaran internal partai bagaimana ketika menjadi pejabat. Bisa dipastikan akan sulit untuk transparan dengan anggaran. Budaya oligarki dalam internal partai harus dijadikan lebih demokratis. Bahkan setiap pengambilan keputusan strategis melibatkan partisipasi kader bahkan masyarakat agar kemudian kehadiran partai politik dirasakan oleh rakyat. Kaderisasi dan proyeksi kader partai harus berjalan dengan baik agar tidak ada istilah kader karbitan, atau kutu loncat. Berani memberikan reward dan punishment kepada kader.
Kedepan kita menginginkan partai dengan sistem dan makanisme di internal parpol yang lebih sehat. Kader-kader partai yang dimajukan menjadi pejabat tidak lagi kader rakus dengan kekuasaan, tendensius pribadi, dan memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompok. Tapi kader yang berangkat dari keterpanggilan jiwa dan ideologi untuk berbuat demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Untuk mengwujudkan itu partai politik harus melakukan reformasi. Baik itu reformasi sistem partai dan reformasi paradigma elit dan kader agar rakyat merasakan kehadiran partai politik. Semoga…

OLEH: Nofri Andri Yulan
Presiden Mahasiswa UNRI 2011-2012/KP KAMMI RIAU

Senin, 21 Januari 2013

DINAMIKA GOLKAR RIAU MENJELANG PILGUBRI 2013

Tahun 2013 merupakan tahun politik, bertepatan tanggal 4 September 2013 ada pemilihan Gubernur di Provinsi Riau. Siapa yang tidak menginginkan jabatan orang nomor satu di bumi lancang kuning. Jabatan yang sangat prestisius dan terhormat. Momentum pemilihan gubernur merupakan ajang kompetisi bagi partai politik untuk memajukan kader terbaiknya menjadi gubernur Riau. Segala kekuatan akan digerakkan oleh partai mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan bahkan sampai ke desa-desa. Mulai sekarang sudah menjadi keharusan bagi partai untuk mengerakkan mesin partai. Semakin panas mesin partai bergerak, maka akan semakin kencang kecepatannya untuk sampai kepada kemenangan.
Dari seluruh partai yang ada yang paling menarik untuk diperhatikan adalah bagaimana dinamika di internal Partai Golkar Riau menjelang pemilihan gubernur di Provinsi Riau. Monuver politik, tensi politik, konstalasi politik sampai dengan lemparan-lemparan isu yang kemudian memberikan wacana-wacana baru ke publik. Masih ingat bagaimana musdalub Golkar yang dilaksanakan di kantor DPP Slipi Rabu 24 Oktober 2012 yang dilakukan untuk menggulingkan ketua DPD Golkar Indra Mukhlis Adnan yang dilakukan oleh sembilan DPD II Golkar. Hasil musdalub dengan terpilihnya Annas Maaamun secara aklamasi sebagai ketua DPD 1 Golkar menjadi sebuah pertanyaan besar di kalangan publik yang sebelumnya beberapa nama sempat digadang-gadangkan menjadi orang nomor satu di partai berlambang pohon beringin seperti herman Abdullah, Syamsurizal, Sukarmis.
Penyusunan pengurus di bawah kepemimpinan Annas Maamun juga tidak lepas dari kritik yang datang di internal kader-kader Golkar. Seperti apa yang disampaikan oleh ketua DPP partai Golkar Rusli Zainal yang mengkritisi tidak masuknya kader yang sudah mengakar di Golkar. Partai Golkar sebagai partai pemenang pada pemilihan legislatif 2009 dengan jumlah kursi di DPRD Prov 16 dan mengantarkan kader terbaiknya H.M. Rusli Zainal menjadi Gubenur Riau. Sebagai partai besar sudah menjadi kewajaran ketika calon Gubernur yang diusung oleh partai berlambang beringin ini menjadi rebutan.
Menyongsong pilgubri 2013 yang tinggal hitungan bulan seharusnya untuk konsolidasi internal partai Golkar sudah harus siap. Segala daya upaya mulai dari insfrastruktur pemenangan dan strategi sudah harus matang. Terpilihnya Annas Maamum tentu menjadi angin segar bagi partai untuk kembali mengkonsolidasikan partai untuk lebih solid terutama menjelang Pilgubri yang sudah didepan mata. Apalagi pasca Musdalub banyak kader-kader tidak terkonsolidasikan dengan maksimal. Akan tetapi, tidak partai Golkar kalau tidak berdinamika dan berkonflik di internalnya. Sampai sekarang  masih menjadi perdebatan di internal kader tentang siapa yang akan didukung oleh Golkar Riau untuk menjadi calon Gubernur.
Baru-baru ini manuver politik Sukarmis ngeri-ngeri sedap kepada Annas Maamun yang mengatakan Annas terlalu gaek (telah tua) dan tidak mendukung pencalonan Annas sebagai calon gubernur. Statment Sukarmis yang juga ketua DPD I Partai Golkar Kuansing memunculkan polemik baru di internal partai. Ditambah dengan dukungan dari DPD 1 Inhu yang menginginkan mengusung Yopi Arianto yang juga DPD 1 Golkar Inhu tidak bisa dipandang sebelah mata sebagai calon Gubernur Riau.
Pilgubri merupakan ajang pesta demokrasi daerah, tidak ada halangan bagi siapa yang ingin maju untuk manjadi orang nomor satu bumi lancang kuning. Sebelumnya Herman Abdullah telah mendeklarasikan diri maju menjadi calon gubernur menggunakan perahu di luar golkar. Indra Mukhlis Adnan juga masih mempunyai niat maju menjadi gubernur. Di internal golkar sendiri masih terjadi faksi-faksi pengaruh dari kader-kader senior yang telah mangakar yang tidak mendapat tempat di golkar. Dengan kondisi seperti ini mampukah Golkar menjadi partai nomor wahid di bumi lancang kuning?. Teka-teki ini tentu harus dijawab oleh kader Golkar sendiri.
Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa konfik di internal partai belambang beringin terus terjadi  menjeleng Pilgubri 2013?. Saya punya padangan bahwa partai masih belum demokratis dalam penentuan calon. Parpol masih sangat oligarki, semua berporos kepada pemimpin. Seakan-akan yang berhak menjadi Gubernur itu adalah ketua DPD I Golkar Riau. Padahal tidak semua kader berhak maju. Yang menjadi permasalahan adalahh proses penetapan calon yang mesih menggunakan pradigma lama. Kalau partai berani untul melakukan kovensi di internal partai siapa yang akan diusung menjadi calon gubernur tentu ini lebih baik. Wujud dari partai yang lebih demokratis. Proses demokrasi di internal partai sebagai wadah bagi partai mendengarkan suara kader dan masyarakat, artinya partisipasi publik itu penting agar kemudian calon yang diusung memang keinginan kader dan masyarakat.
Konflik di internal partai Golkar ini tentu harus dekelolah dengan baik. Resolusi konflik merupakan tugas pokok partai. Ketika konflik dikelola dan kemudian mampu mensolidkan kader untuk menyongsong kemenangan tentu konflik sangat baik. Akan tetapi ketika konflik yang ada di internal partai tidak kemudian membuat kader partai semakin tidak solid bahkan lari ke lain hati tentu konflik seperti ini mendatangkan kerugian. Implikasi lebih besar, jika dalam kampanye Pilgubri terjadi benturan internal diinternal Golkar, bukan mustahil kader senior yang maju menggunakan para pendukung dari internal partai Golkar sendiri.
Sebagai partai besar yang sarat dengan pengalaman dalam mengelola konflik dan dinamika kita berharap partai Golkar mampu untuk melakukan rekonsilisasi kader untuk satu suara dalam mendukung calon yang akan diusung menjadi calon gubernur.  Ketidakmampuan mengelola konflik ini. Di internal partai Golkar juga menunjukkan kepentingan individu pengurus sangat besar. Kalau problem itu tidak segera diselesaikan, dampaknya akan besar bagi persiapan menghadapi kemenagan.
Dalam menentukan calon setidaknya mempertimbngankan aspek popularitas, elektabilitaas, dan aksebilitas dari calon yang akan diusung, siapapun calon yang akan dimajukan tentu harus mempunya aspek yang disebutkan diatas. Selain juga calon harus memiliki integritas dan kapasitas. Partai politik punya cara untuk menguji calonnya yang akan dimajukan menjadi calon Gubernur. Biasanya survei yang dilakukan oleh partai yang kemudian hasilnya menjadi pertimbangan atau dengan cara hasil kovensi daerah untuk direkomendasikan ke DPP . Untuk mengwujudkan pemimpin berkualitas tentu DPP Golkar lebih demokratis untuk menetapkan calon. Masyarakat Riau menunggu siapa calon yang akan diusung oleh partai pemenang Pemilu 2009 yaitu partai Golkar. Semoga…
Oleh: Nofri Andri Yulan
Mantan Presiden Mahasiswa/KP KAMMI RIAU