Reformasi
merupakan titik awal dari perbaikan sistem demokrasi di Indonesia. Pada masa
orde baru, pemerintah dan presiden sangat dominan bahkan jabatan presiden
dianggap sebagai jabatan sakral. Kondisi ini sudah berubah, sekarang tentu
sudah lebih demokratis. Partai politik pasca reformasi tentu harus lebih bisa
berbuat banyak untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat karena kader-kader
partai memiliki jabatan penting pada lembaga eksekutif seperti
bupati/walikota/gubernur dan presiden bahkan lembaga legislatif (DPR). Kondisi ini
sangat memungkinkan partai politik dapat memberikan kontribusi untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi rakyat. Tapi paradoks kenyataannya adalah kondisi rakyat
pada saat ini masih seperti ini saja, yang kaya semakin kaya sedangkan yang
miskin semakin melarat dengan kemiskinan.
Partai
politik belum mampu memperjuangkan aspirasi rakyat. Partai politik hanya
dijadikan kendaraan politik untuk kader partai merebut kekuasan di legislatif
(DPRD) dan eksekutif (pemerintahan). Menurut
Jimly Asshiddiqie, partai politik dapat diartikan sebagai suatu bentuk kelembagaan
sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan dan keyakinan bebas
dalam masyarakat demokratis yang bertindak sebagai perantara dalam
proses-proses pengambilan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga
negara dengan institusi-institusi kenegaraan, sehingga berperan dalam proses
dinamis perjuangan nilai dan kepentingan (value and interest) dari
konstituen yang diwakilinya. Dengan kata lain, partai politik adalah media
aspirasi bagi masyarakat luas untuk ikut dalam proses penentuan kebijakan dalam
kehidupan bernegara.
Menjadi
pertanyaan adalah bagaimana dengan partai politik sekarang ini? Apakah masih
memperjuangkan kepentingan rakyat? Apa yang salah pada partai politik?. Saya
melihat ada beberapa permasalahan mendasar yang terjadi pada partai politik
yang membutukan perbaikan secara cepat. Permasalahan pertama adalah partai
tidak memiliki ideologi dan platform yang jelas. Ketika partai tidak memiliki ideologi
dan platform yang jelas, maka akan berpengaruh kepada kinerja parpol. Kader-kader
partai di lembaga eksekutif dan legislatif menjadi kebingungan meduduki jebatan
starategis tersebut. Sehingga wajar wajah eksekutif dan legislatif tidak punya
cita-cita perubahan yang kongkrit.
Pentingnya partai politk punya ideologi dan platform, agar kadernya
mempunyai nilai-nilai perjuangan, cita-cita, dan konsep perubahan. Sebaliknya,
apabila partai tidak memiliki ideologi dan platform yang jelas yang terjadi
adalah kader-kader partai tidak memiliki konsep perubahan sesuai dengan ideologi
partai yang akan diperjuangkan di parlemen dan pemerintahan. Publik dapat
melihat tidak adanya narasi-narasi perubahan dari kader partai. Perdebatan di
parlemen tidak dalam tataran konsep, tapi lebih kepada hal-hal yang normatif.
Kedua,
partai masih belum profesional dalam melakukan rekrutmen. Popularitas dan dana
menjadi indikator penting bagi partai politik dalam melakukan rekrutmen kader. Sehingga yang terekrut adalah teman dekat,
keluarga, artis, preman, dan mafia (mafia seperti mafia intelektual,
aktivis, hukum, anggaran, proyek, bisnis) yang notabenenya adalah
individual yang pragmatis, materialistik, dan hedonis. Maka tidak jarang
terjadi korupsi, jarang datang rapat, suka ngurusin proyek dari pada rakyat,
penyalahgunaan wewenang, minim pemahaman regulasi, mafia regulasi, perpanjangan
tangan pemilik modal, bahkan perbuatan merusak moralpun dilakukan seperti narkoba,
dan seks bebas. Lebih parah lagi ketika kader partai politik tidak tahu apa
yang akan dikerjakan di parlemen.
Ketiga,
transparansi anggaran. Partai politik harus berani transparan mengenai anggaran
kepada publik. Dari mana sumber dana dan untuk apa digunakan. Bagaimana pejabat
publik yang dimajukan manjadi kepala daerah bisa transparan, kalau di intenal
partai sendiri masih belum melakukan transparansi anggaran. Transparasi anggaran
ini penting dilakukan karena kebanyakan kader-kader partai ketika menjadi
pejabat dikuras oleh partai untuk mencari dana untuk partai.
Keempat,
partai masih bersifat oligarki. Partai masih belum demokratis dalam pangambilan
kebijakan. Terkesan kebijakan terpatron kepada pimpinan partai seakan-akan pimpinan
partailah yang memiliki partai ketika sudah menjadi pemimpin. Sehingga yang
terjadi adalah ketika kran demokrasi tidak terbuka, tentu partai akan otoriter.
Kelima,
partai masih lemah dalam kaderisasi dan proyeksi kader. Kondisi parpol sudah
sangat memprihatinkan dalam melakukan proyeksi kader untuk dijadikan
bupati/walikota, gubernur, bahkan presiden. Ini terjadi karena partai politik
tidak memiliki kaderisasi dan proyeksi kader yang jelas. Sehingga yang terjadi
adalah kader kutu loncat atau kader yang terbentuk secara instan. Maka sudah
sangat wajar kalau kemudian paradigma, prinsip, cita-cita dan internallisasi
nilai kepartaian tidak menghujah ke jiwa kader. Dapat dilihat dari banyaknya
kader-kader partai politik tidak memiliki karakter, gonta-ganti partai dan
tidak militan kepada partai.
Keenam,
reward and punishment. Partai politik harus profesional dalan menjalankan
kerja kepartaian. Ketika ada kader yang berprestasi, maka partai harus
memberikan reward. Wujud dari partai peduli dengan kader yang memperjuangkan
kepentingan rakyat. Dan memberikan sanksi kepada kader yang berkinerja buruk.
Jadi dapat dimaklumi kenapa kinerja wakil
rakyat dan pemerintahan masih biasa-biasa saja bahkan semakin buruk. Karena hal
ini sejalan dengan sistem dan makanisme internal partai politik yang masih
bermasalah. Maka wajar jika kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan.
Ada
beberapa hal yang harus dilakukan partai politik ke depan. Setidaknya partai
politik harus kembali mempertegas ideologi dan platfrom partai politiknya.
Melakukan perbaikan rekrutmen kader dengan profesional. Dengat cara melakukan fit
and proper test. Masuk menjadi kader partai harus mengedepankan integritas
dan kapasitas selain juga kader harus mempunyai popularitas, elektabilitas dan
aksebilitas. Sudah manjadi keharusan partai politik harus transparan dengan
anggaran. Dari mana anggaran didapatkan dan untuk apa anggaran dikeluarkan.
Transparanasi anggaran disampaikan ke publik melalui media. Partai politik bisa
libatkan KPK, BPK untuk mengaudit anggaran partai. Kader partai harus berani
melaporkan harta kekayaan kepada institusi yang berhak. Kalau partai tertutup
dengan anggaran internal partai bagaimana ketika menjadi pejabat. Bisa
dipastikan akan sulit untuk transparan dengan anggaran. Budaya oligarki dalam
internal partai harus dijadikan lebih demokratis. Bahkan setiap pengambilan
keputusan strategis melibatkan partisipasi kader bahkan masyarakat agar
kemudian kehadiran partai politik dirasakan oleh rakyat. Kaderisasi dan proyeksi
kader partai harus berjalan dengan baik agar tidak ada istilah kader karbitan, atau
kutu loncat. Berani memberikan reward dan punishment kepada kader.
Kedepan
kita menginginkan partai dengan sistem dan makanisme di internal parpol yang
lebih sehat. Kader-kader partai yang dimajukan menjadi pejabat tidak lagi kader
rakus dengan kekuasaan, tendensius pribadi, dan memperjuangkan kepentingan
pribadi dan kelompok. Tapi kader yang berangkat dari keterpanggilan jiwa dan
ideologi untuk berbuat demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Untuk
mengwujudkan itu partai politik harus melakukan reformasi. Baik itu reformasi
sistem partai dan reformasi paradigma elit dan kader agar rakyat merasakan
kehadiran partai politik. Semoga…
OLEH: Nofri Andri Yulan
Presiden Mahasiswa UNRI
2011-2012/KP KAMMI RIAU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar