Social Icons

Minggu, 27 Januari 2013

Reformasi Partai Politik



Reformasi merupakan titik awal dari perbaikan sistem demokrasi di Indonesia. Pada masa orde baru, pemerintah dan presiden sangat dominan bahkan jabatan presiden dianggap sebagai jabatan sakral. Kondisi ini sudah berubah, sekarang tentu sudah lebih demokratis. Partai politik pasca reformasi tentu harus lebih bisa berbuat banyak untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat karena kader-kader partai memiliki jabatan penting pada lembaga eksekutif seperti bupati/walikota/gubernur dan presiden bahkan lembaga legislatif (DPR). Kondisi ini sangat memungkinkan partai politik dapat memberikan kontribusi untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Tapi paradoks kenyataannya adalah kondisi rakyat pada saat ini masih seperti ini saja, yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin melarat dengan kemiskinan.
Partai politik belum mampu memperjuangkan aspirasi rakyat. Partai politik hanya dijadikan kendaraan politik untuk kader partai merebut kekuasan di legislatif (DPRD) dan eksekutif  (pemerintahan). Menurut Jimly Asshiddiqie, partai politik dapat diartikan sebagai suatu bentuk kelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis yang bertindak sebagai perantara dalam proses-proses pengambilan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan, sehingga berperan dalam proses dinamis perjuangan nilai dan kepentingan (value and interest) dari konstituen yang diwakilinya. Dengan kata lain, partai politik adalah media aspirasi bagi masyarakat luas untuk ikut dalam proses penentuan kebijakan dalam kehidupan bernegara.
Menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan partai politik sekarang ini? Apakah masih memperjuangkan kepentingan rakyat? Apa yang salah pada partai politik?. Saya melihat ada beberapa permasalahan mendasar yang terjadi pada partai politik yang membutukan perbaikan secara cepat. Permasalahan pertama adalah partai tidak memiliki ideologi dan platform yang  jelas. Ketika partai tidak memiliki ideologi dan platform yang jelas, maka akan berpengaruh kepada kinerja parpol. Kader-kader partai di lembaga eksekutif dan legislatif menjadi kebingungan meduduki jebatan starategis tersebut. Sehingga wajar wajah eksekutif dan legislatif tidak punya cita-cita perubahan yang kongkrit.  Pentingnya partai politk punya ideologi dan platform, agar kadernya mempunyai nilai-nilai perjuangan, cita-cita, dan konsep perubahan. Sebaliknya, apabila partai tidak memiliki ideologi dan platform yang jelas yang terjadi adalah kader-kader partai tidak memiliki konsep perubahan sesuai dengan ideologi partai yang akan diperjuangkan di parlemen dan pemerintahan. Publik dapat melihat tidak adanya narasi-narasi perubahan dari kader partai. Perdebatan di parlemen tidak dalam tataran konsep, tapi lebih kepada hal-hal yang normatif.
Kedua, partai masih belum profesional dalam melakukan rekrutmen. Popularitas dan dana menjadi indikator penting bagi partai politik dalam melakukan rekrutmen kader.  Sehingga yang terekrut adalah teman dekat, keluarga, artis, preman, dan mafia (mafia seperti mafia intelektual, aktivis, hukum, anggaran, proyek, bisnis) yang notabenenya adalah individual yang pragmatis, materialistik, dan hedonis. Maka tidak jarang terjadi korupsi, jarang datang rapat, suka ngurusin proyek dari pada rakyat, penyalahgunaan wewenang, minim pemahaman regulasi, mafia regulasi, perpanjangan tangan pemilik modal, bahkan perbuatan merusak moralpun dilakukan seperti narkoba, dan seks bebas. Lebih parah lagi ketika kader partai politik tidak tahu apa yang akan dikerjakan di parlemen.
Ketiga, transparansi anggaran. Partai politik harus berani transparan mengenai anggaran kepada publik. Dari mana sumber dana dan untuk apa digunakan. Bagaimana pejabat publik yang dimajukan manjadi kepala daerah bisa transparan, kalau di intenal partai sendiri masih belum melakukan transparansi anggaran. Transparasi anggaran ini penting dilakukan karena kebanyakan kader-kader partai ketika menjadi pejabat dikuras oleh partai untuk mencari dana untuk partai.
Keempat, partai masih bersifat oligarki. Partai masih belum demokratis dalam pangambilan kebijakan. Terkesan kebijakan terpatron kepada pimpinan partai seakan-akan pimpinan partailah yang memiliki partai ketika sudah menjadi pemimpin. Sehingga yang terjadi adalah ketika kran demokrasi tidak terbuka, tentu partai akan otoriter.
Kelima, partai masih lemah dalam kaderisasi dan proyeksi kader. Kondisi parpol sudah sangat memprihatinkan dalam melakukan proyeksi kader untuk dijadikan bupati/walikota, gubernur, bahkan presiden. Ini terjadi karena partai politik tidak memiliki kaderisasi dan proyeksi kader yang jelas. Sehingga yang terjadi adalah kader kutu loncat atau kader yang terbentuk secara instan. Maka sudah sangat wajar kalau kemudian paradigma, prinsip, cita-cita dan internallisasi nilai kepartaian tidak menghujah ke jiwa kader. Dapat dilihat dari banyaknya kader-kader partai politik tidak memiliki karakter, gonta-ganti partai dan tidak militan kepada partai.
Keenam, reward and punishment. Partai politik harus profesional dalan menjalankan kerja kepartaian. Ketika ada kader yang berprestasi, maka partai harus memberikan reward. Wujud dari partai peduli dengan kader yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Dan memberikan sanksi kepada kader yang berkinerja buruk.
 Jadi dapat dimaklumi kenapa kinerja wakil rakyat dan pemerintahan masih biasa-biasa saja bahkan semakin buruk. Karena hal ini sejalan dengan sistem dan makanisme internal partai politik yang masih bermasalah. Maka wajar jika kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan partai politik ke depan. Setidaknya partai politik harus kembali mempertegas ideologi dan platfrom partai politiknya. Melakukan perbaikan rekrutmen kader dengan profesional. Dengat cara melakukan fit and proper test. Masuk menjadi kader partai harus mengedepankan integritas dan kapasitas selain juga kader harus mempunyai popularitas, elektabilitas dan aksebilitas. Sudah manjadi keharusan partai politik harus transparan dengan anggaran. Dari mana anggaran didapatkan dan untuk apa anggaran dikeluarkan. Transparanasi anggaran disampaikan ke publik melalui media. Partai politik bisa libatkan KPK, BPK untuk mengaudit anggaran partai. Kader partai harus berani melaporkan harta kekayaan kepada institusi yang berhak. Kalau partai tertutup dengan anggaran internal partai bagaimana ketika menjadi pejabat. Bisa dipastikan akan sulit untuk transparan dengan anggaran. Budaya oligarki dalam internal partai harus dijadikan lebih demokratis. Bahkan setiap pengambilan keputusan strategis melibatkan partisipasi kader bahkan masyarakat agar kemudian kehadiran partai politik dirasakan oleh rakyat. Kaderisasi dan proyeksi kader partai harus berjalan dengan baik agar tidak ada istilah kader karbitan, atau kutu loncat. Berani memberikan reward dan punishment kepada kader.
Kedepan kita menginginkan partai dengan sistem dan makanisme di internal parpol yang lebih sehat. Kader-kader partai yang dimajukan menjadi pejabat tidak lagi kader rakus dengan kekuasaan, tendensius pribadi, dan memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompok. Tapi kader yang berangkat dari keterpanggilan jiwa dan ideologi untuk berbuat demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Untuk mengwujudkan itu partai politik harus melakukan reformasi. Baik itu reformasi sistem partai dan reformasi paradigma elit dan kader agar rakyat merasakan kehadiran partai politik. Semoga…

OLEH: Nofri Andri Yulan
Presiden Mahasiswa UNRI 2011-2012/KP KAMMI RIAU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar